Pernahkah di Fakultas Hukum di negara ini untuk menjadi pengacara yang mengutamakan materi daripada pertolongan? Yang pasti tidak. Pernahkah Fakultas Hukum di negeri ini mengajarkan mahasiswanya di negeri ini untuk menjadi mafia peradilan agar cepat menjadi kaya? Lagi-lagi tidak. Lantas, apa yang salah dengan out put dari Fakultas Hukum kita?
Melihat penyelenggaraan hukum selama beberapa dekade terakhir ini, kita berhak merasa khawatir. Negara hukum Republik Indonesia yang dilahirkan sejak 1945 tidak menjadikan hidup bangsa ini aman, sejahtera, dan bahagia. Negara hukum itu masih dipahami sebagai suatu kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang didasarkan pada dan dikendalikan oleh hukum negara. Kita cukup mencuplik beberapa contoh, seperti ”Kasus Radju”, ”Kasus Prita” dan ”Kasus Permainan Koin”.
Semuanya menyangkut perilaku innocent tanpa mengandung niat jahat (criminal intent) di dalamnya. Radju berkelahi dengan sesama teman, seperti layaknya perkelahian anak-anak.
Prita Mulyasari hanya ingin curhat kepada sesama ibu rumah tangga lewat e-mail. Lalu, sekelompok anak-anak di Bandara Soekarno-Hatta bermain tebak-tebakan dengan koin dan yang menang mentraktir teman-temannya. Kendatipun perilaku itu bersifat innocent, tetapi itu cukup untuk mengantarkan mereka masuk ke rumah tahanan.
Prita kehilangan kontak dengan dua anak yang masih balita. Anak-anak yang masih ingusan itu terganggu sekolahnya. Beberapa contoh tersebut sudah cukup mewakili hidup dalam negara hukum yang sebaliknya daripada membahagiakan. Negara hukum bukan lagi rumah yang memberikan keteduhan bagi banyak orang lndonesia. Apakah kita lalu boleh semau kita sendiri dengan mengabaikan hukum? Oh tidak, jauh daripada itu.
Hukum harus dijalankan atau ditegakkan, tetapi dengan penuh kehati-hatian karena akan mengiris ke dalam daging bangsa ini sendiri. Membaca hukum tidak hanya sebagai teks, tetapi sebagai sesuatu yang penuh kandungan moral.
Ini adalah cara berhukum dengan penuh kehati-hatian tersebut. Kalau ingin lebih dipertegas, maka itu adalah cara berhukum dengan akal sehat dan hati nurani. Maka konsekuensinya adalah, bahwa para aktor dalam hukum, para penegak hukum, para polisi, hakim dan jaksa tidak boleh menjadikan dirinya sebagai robot atau bagian dari mesin hukum. Mereka seharusnya menjadi ”kaki-tangan” dari sebuah negara hukum yang ingin menjadikan Indonesia menjadi rumah yang menyenangkan dan membahagiakan rakyat.
Takut di mana letak kesalahan sehingga alih-alih menjadi orang yang bahagia dengan rumah hukum ini, kita malah menjadi takut kepada hukum? Banyak alasan yang dapat dikemukakan, tetapi saya hanya ingin menyoroti satu saja, yaitu sumber daya manusia (SDM) hukum kita sendiri.
Contoh kasus-kasus di atas dimulai dari perilaku orang-orang yang menempati satu posisi dan menjalankan suatu fungsi dalam sistem penegakan hukum. Mereka itu bisa polisi, jaksa, dan seterusnya. Dari situlah kejadian dimulai yang akhirnya melahirkan kasus Radju dan lain-lain. Lalu apakah semua kesalahan akan ditimpakan kepada para penegak hukum itu? Tidak juga! Saya kira adalah tidak adil apabila kesalahan ditimpakan seluruhnya kepada mereka.
SDM penegakan hukum itu bekerja dengan alam pikiran yang ditanamkan ke dalam pikiran mereka selama bertahun-tahun. Di mana? Dalam pendidikan hukum. Dengan demikian sedikit banyak para pendidik juga mempunyai saham dalam membentuk pikiran perilaku para penegak hukum. Di seluruh dunia, dan dengan demikian tidak hanya di Indonesia, pendidikan hukum itu lebih diarahkan kepada kapasitas profesional dalam menjalankan hukum. Kepeduliannya adalah untuk menghasilkan para profesional hukum yang laku di pasaran kerja. Perusahaan-perusahaan berebut untuk berburu ”sepuluh terbaik” yang dihasilkan oleh fakultas-fakultas hukum.
Untuk membahagiakan rakyat? Saya kira tidak, melainkan untuk menjadi sekrup dari mesin perusahaan, Untuk membuat legal opinion dan membela perusahaan manakala terlibat dalam masalah hukum. Kepedulian terhadap aspek kemanusiaan dalam hukum hampir tidak disinggung. Bahkan di Amerika Serikat sekalipun, yang disebut-sebut sebagai ”the champion of democracy and the rule of law”, pendidikan hukumnya lebih berorientasi kepada pendidikan yang mengejar kebendaan semata.
Keadaan di Amerika Serikat malah menjadi sangat ekstrem, seperti diamati oleh Gerry Spence, seorang advokat senior dan kritikus yang tajam terhadap jalan hukum di negeri itu. Tampilan para lawyer di negeri itu banyak dikritik dan dikeluhkan oleh rakyat. Kritik itu tidak ditujukan pada profesionalitas para lawyer, melainkan pada ketumpulan rasa-perasaan kemanusiaan mereka. Sejak mereka melangkah masuk ke law schools maka rasa kemanusiaan para mahasiswa sudah ditumpulkan dan yang dikejar hanya profesionalitas.
Mesin Duit
Tidak ada sikap mengasihi kepada orang-orang yang mendatangi law firms, karena sudah lebih menjadi ”mesin duit” daripada ”mesin penolong”. Para klien yang datang diperlakukan sebagai objek yang dihitung per jam, bukan sebagai orang yang sedang susah dan membutuhkan pertolongan. Amerika Serikat boleh disebut sebagai negara yang maju dalam sains dan teknologi, tetapi pendidikan hukumnya tidak baik kita tiru mentah-mentah. Amerika adalah contoh yang bagus dari pendidikan hukum yang tidak bagus.
Sebaiknya pendidikan hukum di Indonesia menegaskan diri sebagai pendidikan hukum yang bernurani. Tidak baik kalau kita hanya mengembangkan pendidikan hukum berbasis kompetensi, tetapi juga berbasis nurani, seperti mengasihi, empati, kejujuran, dan keberanian. Saya berpikir tentang betapa indah apabila para dosen menggunakan waktu barang lima menit pada akhir kuliah untuk menyampaikan kata-kata penutup agar hukum itu jangan dipermainkan, melainkan dijalankan dengan lebih beramanah serta lebih didasarkan perasaan mengasihi dan lain-lain itu.
Lebih konkret lagi kalau dimasukkan satu mata kuliah baru, yaitu tentang ”Cara Berhukum” yang di dalamnya bermuatan cara berhukum yang dipandu oleh rasa kasih sayang, menolong orang susah, dan sebagainya. Mudah-mudahan dengan cara seperti itu negara hukum kita menjadi rumah yang membahagiakan rakyat dan di belakang hari tidak muncul lagi kasus-kasus seperti Radju, Prita Mulyasari, dan yang sebangsanya.***
Penulis adalah: Alumni FH Universitas Sriwijaya Palembang/Saat Ini PNS di Lingkungan Pemkab Deli Serdang.