Selasa, Mei 13, 2025
Mitra Hukum
  • Beranda
  • Tentang ILRC
    • Profil ILRC
    • Visi & Misi
    • Program
    • Kegiatan
    • Laporan Tahunan
  • Publikasi
    • Berita
    • Opini
    • Artikel
    • Penelitian
    • Buku dan Jurnal
    • Galeri Foto
  • Resource Center
    • Bahan Ajar
    • Putusan Pengadilan
  • Kontak Kami
  • Bahasa: Indonesian
    • English English
    • Indonesian Indonesian
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Tentang ILRC
    • Profil ILRC
    • Visi & Misi
    • Program
    • Kegiatan
    • Laporan Tahunan
  • Publikasi
    • Berita
    • Opini
    • Artikel
    • Penelitian
    • Buku dan Jurnal
    • Galeri Foto
  • Resource Center
    • Bahan Ajar
    • Putusan Pengadilan
  • Kontak Kami
  • Bahasa: Indonesian
    • English English
    • Indonesian Indonesian
No Result
View All Result
Mitra Hukum
No Result
View All Result
Home Publikasi Opini

“Wabah Sophisme” dalam Pendidikan Hukum

Mitra Hukum by Mitra Hukum
Senin September 3rd, 2012
in Opini
0
“My point is to raise the issue of conversion in law school. That is, legal education, like any intense and lengthy experience, will cause change in values and moral perspective.” (Andrew Moore, Conversion and The Socratic Method in Legal Education: Some Advice for Prospective Law Students, University of Detroit Mercy Law Review Summer 2003)/center]Siapapun yang pernah belajar sejarah filsafat hampir dipastikan mengenal aliran pemikiran yang dikembangkan oleh Gorgias, Demosthenes dan Isocrates yang disebut sebagai kaum sophis. Tokoh-tokoh kaum sophis antara lain mengembangkan sebuah retorika atau metode penalaran yang unik tetapi menyesatkan. Murid-murid mereka diminta untuk menyusun materi pidato yang diberi justifikasi ilmiah sesuai dengan keinginannya, padahal terkadang justifikasi tersebut kontradiktif antara satu dengan yang lain. Misalnya, anak didik mereka diminta membuat tugas untuk menyusun pidato argumentatif bahwa keadilan di dunia itu mungkin diwujudkan, tapi setelah itu diminta pula membuat pidato yang menalar bahwa keadilan di dunia tidak mungkin direalisasikan. Singkatnya, bagi kaum sophis persepsi tentang kebenaran adalah sesuatu yang bisa dibuat, tergantung bagaimana kita membangun argumentasi ilmiah terhadapnya. Socrates – filosof yang disebut Plato sebagai orang yang paling bijaksana di Yunani – mengecam kaum sophis sebagai kelompok yang melakukan “pelacuran intelektual”. Socrates dengan nyinyir mengatakan, jika para pelacur menjual dirinya dengan menggunakan kecantikan, maka kaum sophis melacurkan diri dengan menjual kebijaksanaan (wisdom). Walaupun kisah kaum sophis terjadi ribuan tahun yang silam, penulis ingin mengkontekstualisasikannya dengan berbagai fenomena kontemporer. Diantaranya dengan carut marutnya kondisi hukum dan peradilan di Indonesia. Dalam hal ini penulis mencoba membuat benang merah, bahwa kusut masainya hukum dan peradilan, salah satu faktor pemicunya bisa jadi disebabkan oleh kecenderungan sebagian besar aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara) yang berpikir dan bertindak menyerupai kaum sophis. Seperti halnya kebiasaan kaum sophis yang suka bermain-main dengan berbagai konsep penting dalam kehidupan, aparat penegak hukum di Indonesia rupanya suka sekali mempermainkan konsepsi tentang kebenaran dan keadilan secara mulur mengkeret karena alasan-alasan yang bersifat pragmatis. Ekspresi kecenderungan sophisme aparat penegak hukum di dunia hukum dan peradilan antara lain terlihat dari dianutnya prinsip “maju tak gentar membela yang bayar” dan bukan prinsip “maju tak gentar membela yang benar”. Tak mengherankan, praktek judicial corruption (mafia peradilan) seperti mendapatkan lahan yang subur dalam kecenderungan sophisme aparat penegak hukum. Akibatnya, alih-alih menjadi tempat menemukan keadilan, pengadilan malah menjadi altar penjagalan bagi siapapun yang tidak mampu “membeli argumentasi keadilan” versi aparat penegak hukum. Fenomena ini seperti mengingatkan kita kembali kepada “tragedi pengadilan Socrates” ribuan tahun silam, pada saat pragmatisme aparat penegak hukum mengatasi nurani keadilan sejati. Seperti diketahui, pikiran-pikiran filsafat Socrates dianggap menyesatkan. Untuk itu ia harus diadili di Mahkamah Heliast. Socrates dinyatakan bersalah – 220 juri menyatakan ia tidak bersalah, 280 yang lain menentangnya – dan dihukum menenggak racun sampai mati. Ironisnya, sebagaimana ditulis Alain de Botton dalam “The Consolations  of Philosophy”(2003:38), para juri pengadilan Socrates sebagian besar adalah  para veteran pencari penghasilan tambahan dengan menjadi hakim di pengadilan, tidak pernah memperoleh pelajaran yang memadai tentang tata cara mengambil keputusan serta tidak mempunyai pengalaman yang cukup di bidang hukum.

****

Menarik untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang kecenderungan sophisme di kalangan aparat penegak hukum dengan pendidikan hukum di Indonesia melalui sebuah pandangan kritis, bahwa jangan-jangan kecenderungan semacam ini sebenarnya terpola sejak mereka menjalani fase pendidikan hukum di perguruan tinggi, dimana mereka hanya diajarkan materi perkuliahan tentang kebenaran dan keadilan sebatas “intellectual exercise”, tanpa disertai proses internalisasi nilai bahwa kelak ketika menjadi aparat penegak hukum harus menjadikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai senjata untuk menegakkan hukum dan bukan untuk mengibuli hukum. Jika pandangan kritis ini benar, maka fakultas hukum harus ikut bertanggung jawab terhadap rusaknya situasi hukum dan peradilan di Indonesia, karena telah berkontribusi melahirkan anak-anak didik yang tidak mempunyai kepekaan terhadap keadilan, akibat dibesarkan dengan pola pendidikan ala kaum sophis. Persoalannya kemudian, akankah fakultas-fakultas  hukum di Indonesia berbesar hati mengakui dan mau menjadikan pandangan kritis tersebut sebagai bahan otokritik untuk perbaikan metode pembelajaran yang ditradisikan di fakultas hukum selama ini?

****

Tak terasa, tahun demi tahun fase perkuliahan di perguruan tinggi hukum sudah melewati puluhan angkatan (generasi). Ribuan mahasiswa fakultas hukum telah terlahir dari fakultas hukum dan menggeluti profesi hukum. Di tengah maraknya kritik dan sinisme orang terhadap kinerja penegakan hukum, tak berlebihan kiranya jika kita berharap fakultas-fakultas hukum merevitalisasi kembali perannya sebagai lembaga pencetak kader-kader penegak hukum yang reformis, progresif dan visioner. Rasanya terlalu getir membayangkan, ribuan mahasiswa baru fakultas hukum yang pada awal memasuki masa perkuliahan terlihat begitu innocent telah berubah menjadi “monster-monster” – dalam profesi sebagai Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara – yang mahir memanipulasi konsepsi keadilan dengan bekal penguasaan ilmu hukum yang dimilikinya. Untuk merealisasikan harapan ini, maka tidak bisa tidak, metode pendidikan ala kaum sophis harus dikikis habis di fakultas hukum, diganti dengan metode pendidikan yang bisa mengakomodasi tiga target penting dalam proses pendidikan hukum, yaitu, penguasaan aspek pengetahuan (knowledge) hukum, penguasaan aspek ketrampilan (skill) hukum dan penghayatan serta pengamalan aspek nilai-nilai (value) hukum. Metode ini tentu saja tidak terlalu susah ditemukan, dirumuskan dan dikembangkan. Mengingat sudah ada beberapa metode pembelajaran hukum yang bisa dijadikan sebagai referensi. Sebutlah misalnya sebagai contoh, Metode Socrates (Socrates Method), yang lazim dipergunakan di fakultas-fakultas hukum di Amerika Serikat. Yang jelas, apapun metode pembelajaran yang akan diterapkan, metode tersebut  harus bisa menghantarkan anak didik pada penghayatan nilai-nilai keadilan yang otentik dan kesadaran akan dimensi “liberatif” – meminjam istilah Paulo Freire – dalam setiap proses pendidikan. *Dosen sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Kajian (PUKAT) Korupsi FH UGM. Tulisan ini diupload dari : apadong.net

Previous Post

Hubungan Antar Lembaga Negara

Next Post

Perspektif dan Implementasi Keadilan Sosial di dalam Pendidikan Hukum

Next Post

Perspektif dan Implementasi Keadilan Sosial di dalam Pendidikan Hukum

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


No Result
View All Result

ALAMAT ILRC

  • Jl. Menara Air I, No 32, Manggarai.
  • Jakarta Selatan – DKI Jakarta
  • Phone (021) 837 98 646
  • mail : ilrc-indonesia@cbn.net.id

PUBLIKASI

  • Berita
  • Opini
  • Artikel
  • Penelitian
  • Buku dan Jurnal
  • Galeri Foto

RESOURCE CENTER

  • Bahan Ajar
  • Putusan Pengadilan

ORGANISASI ILRC

  • Profil ILRC
  • Visi & Misi
  • Organisasi
  • Program
  • Kegiatan
  • Laporan Tahunan
  • Beranda

© 2019 Indonesian Legal Resources Center, ILRC - Designed by delapancahaya.id

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Tentang ILRC
    • Profil ILRC
    • Visi & Misi
    • Program
    • Kegiatan
    • Laporan Tahunan
  • Publikasi
    • Berita
    • Opini
    • Artikel
    • Penelitian
    • Buku dan Jurnal
    • Galeri Foto
  • Resource Center
    • Bahan Ajar
    • Putusan Pengadilan
  • Kontak Kami
  • Bahasa: Indonesian
    • English English
    • Indonesian Indonesian

© 2019 Indonesian Legal Resources Center, ILRC - Designed by delapancahaya.id

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In