(Depok, 25/10/19). The Indonesia Legal Resource Center (ILRC) bersama FH Universitas Indonesia, Djokosoetono Research Center UI (DRC) melakukan diskusi dan diseminasi tentang penelitian verifikasi dan akreditasi OBH pada 25 Oktober 2019 di Depok, Jawa Barat. Kegiatan ini diawali dengan pembukaan dari Wakil Dekan Andri Gunawan Wibisana. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak telah berkontribusi dalam acara Dies Natalis FH UI dengan mengadakan diskusi public tentang verifikasi dan akreditasi OBH. “Melalui DRC FH UI dan ILRC yang dididukung oleh IDLO, kami berharap agar acara ini bermanfaat bagi semua khususnya dalam diskursus tentang bantuan hukum,” tuturnya.
Selain itu ditegaskan juga oleh Direktur ILRC Uli Parulian Sihombing beliau menyampaikan alasan mengapa diadakannya diskusi ini, yaitu agar BPHN mendapatkan saran dan rekomendasi penting mengenai hasil penelitian verifikasi dan akreditasi. “Adapun saran dan rekomendasi tersebut diharapkan menjadi bahan masukan dalam proses verifikasi dan untuk menjadi lebih baik kedepannya,” jelas dalam sambutannya.
Setelah sesi sambutan selesai, acara selanjutnya yaitu kuliah umum, yang disampaikan oleh Prof. Jimly Assidiqie. Dalam paparannya mengenai Konstitusi dan Keadilan Sosial, beliau menjelaskan latar belakang bantuan hukum dimana negara harus ikut campur dalam proses pencarian keadilan, khususnya bagi kelompok miskin dan marginal. “Keadilan itu bukan hanya individual, tapi juga struktural dan sosial masyarakat. Jarak antara orang kaya dan orang miskin tidak boleh jauh, Negara harus hadir sehingga berhasilnya sebuah Negara dilihat dari jarak antara ketimpangan dan keadilan,” tegasnya.
Masuk ke sesi diskusi panel hasil penelitian, yang dihadiri Kapusluh BPHN yaitu Arfan Faiz, Flora selaku Ketua LKBH FH UI, Patricia Rinwigati selaku Supervisor Peneliti dari DRC dan Uli Parulian Sihombing. Dalam diskusi tersebut, Tim Peneliti yang diwakili Patricia menemukan beberapa fakta soal penerima manfaat hanya kategori miskin dan tidak memasukan kelompok rentan sebagai subjek penerima manfaat, padahal kelompok ini paling banyak berhadapan dengan hukum. Selanjutnya soal sebaran OBH yang tidak merata dan pendaan yang minim menjadi hambatan dalam mengakses keadilan. Oleh karena itu menurut Patricia, “pentingnya sebaran OBH dari segi kuantitas dan kualitas yang diperkuat oleh sosialisasi dari Kanwil Kemenkum HAM/BPHN ke daerah-daerah. Pembinaan teknis dari kanwil dan pelibatan berbagai pemangku kepentingan. Peningkatan kapasitas sidbankum bagi calon OBH baru, meninjau ulang syarat-syarat akreditasi dan verifikasi OBH dan membuat mekanisme pengaduan/banding proses hasil verifikasi dan akreditasi OBH,“ tegas Patricia dalam paparannya,
Selain itu, Arfan juga menjelaskan soal upaya Kementerian Hukum dan HAM RI melalui BPHN dalam menyikapi sebaran Pemberi bantuan hukum (PBH) yang belum merata dengan mengarahkan PBH untuk menunjuk rekan advokat yang jauh dari domisili PBH untuk berafiliasi dengan PBH dimaksud dengan menggunakan surat penunjukan dari Direktur/Ketua PBH terakreditasi. Lebih lanjut menurutnya “hal itu diharapkan dapat memperluas pemberian bantuan hukum untuk orang miskin atau kelompok orang miskin di tingkat kabupaten/kota, tegas Arfan.
Persoalan lain juga dikemukakan oleh Flora, beliau memaparkan soal tidak seimbangnya anggaran pendampingan hukum, seperti biaya penyuluhan yang minim, belum lagi soal pemotongan pajaknya membuat apatis terhadap system hukum di Indonesia. Menurutnya “perlunya peningkatan anggaran pendampingan dan tidak memasukan jasa hukum sebagai komponen pajak, ujarnya.
Acara yang berlangsung hingga sore ini ditutup dengan sesi tanya jawab dan dilanjutkan sesi penutupan oleh moderator. (RB)