Berkuliah di fakultas hukum? Anda mungkin membayangkan bahwa setelah lulus akan menjadi hakim, jaksa, panitera, pengacara, notaris, kurator, atau menjalankan profesi hukum yang lain. Nyatanya, Anda harus siap-siap kecewa.
Profesi-profesi hukum yang ada tak bakal mampu menampung seluruh lulusan fakultas hukum. Maklum, Indonesia memiliki 75 universitas negeri dan ratusan universitas swasta yang hampir semuanya memiliki fakultas hukum. Saban tahun, semuanya mengeluarkan sarjana hukum baru.
Tak salah! Jika ukurannya adalah peluang kerja di bidang hukum, Indonesia memang sudah kelebihan sarjana hukum. Warkum Sumitro, Pembantu Rektor Universitas Brawijaya, punya pengibaratan yang menarik. Dalam sebuah seminar yang dilakukan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Warkum mengatakan, jika jumlah lulusan fakultas hukum diibaratkan sebagai segentong air, maka peluang kerja di profesi hukum sebenarnya tak lebih dari sebuah gelas.
Alhasil, mau tak mau, sebagian besar lulusan fakultas hukum justru harus meluber dan mengisi peluang di profesi lain. Bahkan, karena begitu banyaknya sarjana hukum, pemerintah sudah melarang pendirian fakultas hukum baru.
Namun, hal itu bukan berarti bahwa berkuliah di fakultas hukum merupakan sebuah mimpi buruk. Berkuliah di tempat ini justru memberi banyak keuntungan. Pertama, karena ada sejumlah profesi —hakim, panitera, jaksa, pengacara, panitera, notaris, dan kurator— yang hanya dapat dimasuki oleh mereka yang memiliki gelar sarjana hukum. Di sisi lain, sarjana hukum juga dapat memasuki aneka rupa profesi yang tak berkaitan secara langsung dengan dunia hukum seperti mengisi kebutuhan tenaga bagian hukum di perusahaan-perusahaan atau instansi pemerintah atau menjadi dosen di fakultas hukum.
Bahkan, seorang sarjana hukum juga banyak yang kemudian mengisi kebutuhan tenaga yang sama sekali tak ada kaitannya dengan dunia hukum, seperti menjadi tenaga marketing di perusahaan-perusahaan, menjadi wartawan, dan bahkan tak sedikit yang menjadi analis bisnis keuangan di perusahaan sekuritas atau pekerja di bidang IT.
Tak semua orang yang berkarier di dunia yang tak ada kaitannya dengan hukum itu karena terpaksa. Banyak juga yang masuk ke “dunia lain” itu akibat panggilan hati. Saya mengawali karier sebagai agen (sales) asuransi, dan profesi itu saya tekuni hingga saat ini.
Tak Bisa Mengerucut
Karena fenomena gentong dan gelas itu, kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia tampak kurang fokus.
Tak terlalu jelas apakah pendidikan tinggi hukum di Indonesia bermaksud mencetak para ahli hukum, mencetak para praktisi hukum dengan skill yang baik, ataukah berusaha memberi bekal soft skill yang harus dikuasai untuk mengantisipasi jika lulusannya ternyata tak tertampung dalam “gelas kecil profesi hukum” tadi.
Kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia sangat berbeda dengan kurikulum pendidikan tinggi hukum di Amerika, misalnya. Di Amerika, pendidikan hukum strata 1 tegas-tegas ditujukan untuk membentuk praktisi-praktisi hukum. Lantaran itu, sejak awal masuk kuliah, mahasiswa akan langsung dijejali dengan pembahasan kasus-kasus hukum di pengadilan.
Di sana, orang yang ingin menjadi ahli hukum harus menempuh pendidikan pascasarjana untuk mendapat gelar Law and Law Magister (LLM) dan kemudian gelar doktor bidang hukum pada tataran S3.
Di Indonesia, “kekacauan” sesungguhnya bukan hanya terjadi di level strata 1. Karena berbagai alasan —termasuk gengsi dan kepangkatan—, semua orang seperti ingin memburu gelar magister dan doktor. Pengacara, aktivis LSM, pimpinan perusahaan, camat, atau bahkan salesman yang tak tertampung di dunia profesi hukum ramai-ramai mengorbankan waktu, dana, dan tenaga untuk berburu gelar magister atau doktor di bidang hukum.
Fenomena semua ingin jadi master dan semua ingin jadi doktor ini tentu saja tak harus dimaknai sebagai hal negatif. Tetapi, hal itu sekali lagi, makin memperkuat pernyataan bahwa pendidikan hukum di Indonesia sesungguhnya sampai saat ini masih dalam tahap pencarian bentuk. Sayangnya, jika melihat latar belakang realitas sosial, proses pencarian bentuk ini sepertinya tak pernah akan usai.
Dengan kenyataan bahwa lulusan fakultas hukum harus berusaha mencari peluang sendiri, mencari pekerjaan di bidang yang sama sekali tak bisa diprediksi, agak sulit berharap pendidikan tinggi hukum akan mereformasi diri menjadi pencetak ahli hukum atau pencetak praktisi hukum.
Yang lebih masuk akal, fakultas hukum akan mengarahkan kurikulumnya agar bisa melahirkan lulusan-lulusan dengan kategori sarjana serba bisa yang bisa terjun ke segala macam profesi. Jika ini dilakukan maka pendidikan tinggi hukum kita tak akan berubah wajah.
Bonus Soft Skill
Kurang fokusnya pendidikan hukum, ditambah dengan sulitnya memprediksi masa depan, membuat mahasiswa fakultas hukum harus berjuang ekstrakeras sejak masuk hingga setelah lulus.
Mahasiswa fakultas hukum tak boleh menghentikan kegiatan pada belajar dan belajar saja. Mereka juga harus menguasai aneka soft skill seperti kemampuan berorganisasi, menguasai teknik kepemimpinan, memiliki human relation yang baik, serta aneka kemampuan soft skill lainnya. Penguasaan bahasa asing juga merupakan keharusan yang tak bisa dihindari.
Aneka macam soft skill tadi akan sangat bermanfaat jika setelah lulus nanti Anda ternyata harus berhadapan dengan kenyataan bahwa gelas kecil profesi hukum tak mampu menampung Anda.
Terus terang, aspek soft skill itulah yang saya “jual” ketika saya masuk ke bisnis asuransi. Jika Anda pun akhirnya bernasib baik dan tertampung dalam profesi hukum, aneka soft skill tadi juga tak akan terbuang percuma.
Hero Samudra
Direktur Utama Asuransi Jiwa Nusantara
Sumber : http://www.surya.co.id/2010/04/09/gentong-dan-gelas-pendidikan-hukum.html