Agar hukum yang dibangun dan dibentuk memiliki landasan yang kokoh untuk jangka panjang dan tidak akandipertentangkan dengan pemahaman filsafat barat dan timur, pengetahuan tentangfilsafat hukum barat yang masih mendominasi pengetahuan filsafat hukum Indonesia seharusnya diselaraskan dengan filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
Terlepas dari sekelompok anggota masyarakat yang setuju atau tidak setuju terhadap filsafat Pancasilatadi, para pendiri republik ini sudah sepakat bahwa hanya filsafat ini yangdapat dijadikan fundamen kokohnya dan tegaknya NKRI, bukan filsafat barat itu.Kelima sila dari Pancasila sudah secara komprehensif dan luas menampungkeberagaman masyarakat Indonesia baik secara sosial, budaya, politik, ekonomi, dan hukum yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia.Kelima sila dari Pancasila itulah yang merupakan tolok ukur sejauh manapembangunan hukum dan penegakan hukum telah sejalan dengan cita pendirirepublik ini, yaitu kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya. Perbedaan besardari filsafat hukum Pancasila adalah bahwa filsafat hukum barat memiliki karakteristik kepastian hukum melalui keunggulan proses litigasi untuk mencapai keadilan.
Sekalipun diakui telah ada perubahan ke arah nonlitigasi, dapat dikatakan instrumen hukum itu merupakan alternatif saja, bukan merupakan sarana hukum utama untuk penyelesaian sengketadalam mencapai tujuan, bukan hanya mempertahankan ketertiban, melainkan menciptakan perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Keberhasilan peranan hokum dalam mencapai kepastian hukum dan keadilan dalam lingkup filsafat hukum baratadalah ada pihak yang memenangkan kontes di muka pengadilan di satu sisi, dandi sisi lain ada pihak yang kalah dan terkena aib serta penderitaan.
Dampak negatif dari karakter berlitigasi model barat adalah semakin sulit dan terbebaninya kaummiskin untuk turut berkontes di muka pengadilan sekalipun telah tersediabantuan hukum (legal aid) baginya. Persentase keterwakilan kaum miskin untukbeperkara di muka sidang sangat kecil dibandingkan dengan kaum yang berpunyadengan menggunakan jasa advokat (legal services). Program bantuan hukum yangsudah diperkenalkan di dalam sistem peradilan di Indonesia sejak 1970-an olehMochtar Kusumaatmadja dan Adnan Buyung Nasution, tidak berhasil meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat miskin dalam memperoleh keadilan melalui proseslitigasi.
Berbeda jauh dengan keberhasilan proses litigasi yang dijalankan oleh para advokat (legalservices). Salah satu faktor penyebab penting dari keadaan tersebut adalah bahwa kaum miskin tidak mengetahui dan memahami hak-hak konstitusional dan hakhukum mereka secara benar, kecuali secara samar-samar dihembuskan oleh kalangan pendidikan hukum dan praktisi hukum. Dalam proses menuju negara demokrasi yang modern abad 21, ternyata tujuan pencapaian kepastian hukum dan keadilan melalui proses litigasi terbukti tidak membawa kesejahteraan terhadap sebagian besar rakyat Indonesia, bahkan telah menempatkan kaum miskin menjadi lebih miskin dan kaum kaya menjadilebih kaya. Hal ini karena kaum miskin sama sekali tidak memahami akan hak-hak hukum dan hak konstitusionalnya dalam berproses litigasi.
Karena itu, bantuan hokum untuk kaum miskin merupakan faktor penentu dari solusi tersebut di atas. Disisi lain, kaum kaya semakin kokoh dan sulit terjangkau oleh hukum karena kekayaannya dan pemahamannya tentang hak-hak hukum dan hak konstitusionalnya. Merasuknya paham materialisme ke dalam praktik penegakan hukum sangatmengganggu integritas aparatur peradilan saat ini, bahkan hal ini terjadi dantidak jarang diteladani oleh petinggi-petinggi hukum itu sendiri. Dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat pemerintahan, bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakkan hukum.
Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindaklanjuti secara selektif dan masih bersifat diskriminatif. Resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di musimhujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pimpro sampaikepada rencana instruksi presiden untuk mengatur sistem pelaporan korupsimelalui jalur baru birokrasi yang akan bermuara pada ketidakadilan dan ketidakpastianhukum di satu sisi dan proteksi pelaku korupsi yang kaya dan pemangku jabatan dari jeratan hukum.
Keadaan kritis sebagaimana diuraikan di atas dalam membangun masyarakat adil dan sejahtera melalui pembangunan hukum dan penegakan hukum harus dilihat dengan optimisme berbalut kalimat, “hopeless but not desperate”. Solusi permasalahan pembangunan hokum dan penegakan hukum di atas harus dimulai dari karakter kepemimpinan nasional yang secara sungguh-sungguh menempatkan hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat Indonesia yang berkarakter kebangsaan dan kesejahteraan nasional. Hal ini dapat dicapai jika kelembagaan hukum dan fungsi kelembagaan hukum itu ditata kembali dengan mengutamakan sistem pemisahan kekuasaan, bukan sistem pembagian kekuasaan dengan konsekuensi tidak ada lagi kelembagaan yang berada dan di bawah kontrol kekuasaan eksekutif.
Perencanaan hukum nasional harus ditata ulang dengan mengubah struktur dan fungsi Badan Pembinaan Hukum Nasional menjadi Badan Pembangunan Hukum Nasional. Badan ini harus merupakan kelembagaan hukum setingkat kementerian dengan fungsi merupakan satu-satunya lembaga negara yang melaksanakan tugas dan wewenang merencanakan, mengharmonisasikan, dan menyusun peraturan perundangan untuk kepentingan setiap sektor kehidupanmasyarakat dan kepentingan sektoral kementerian. Peranan pendidikan tinggi hukum dan komunitas intelektual bidang hukum merupakan subsistem pendukung lembaga negara baru tersebut dan diperkuat oleh keberadaan unsur perwakilan partai politik di dalam lembaga tinggi negara tersebut.
Keberadaan lembaga Negara tersebut akan meniadakan peranan dan kepentingan masing-masing kementerian dalam perencanaan dan penyusunan peraturan perundangan sehingga akan diperolehsatu kesatuan hukum nasional yang tidak berbenturan sama lain dan sekaligusdapat mencegah terjadinya “intervensi kepentingan hukum asing” di dalamperkembangan hukum nasional. (*)
Prof Dr Romli Atmasasmita
Guru Besar Unpad, Ketua Forum 2004
Sumber: http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2007/08/24/58/42032/arah-penegakan-hukum-di-indonesia