Pada tanggal 23 Januari 2009, bertempat di LBH Jakarta dilaksanakan kembali diskusi tematik RUU KUHAP. Diskusi secara regular dilaksanakan setiap hari Jumat pkl. 14.30 – 17.00, dan diskusi kedua ini membahas hak atas bantuan hukum dalam RUU KUHAP. Diskusi diselenggarakan oleh aliansi KuHAP (Komite untuk pembaharuan Hukum Acara Pidana) yang beranggotakan sejumlah NGO diantaranya Indonesia Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, LBH APIK Jakarta, LBH Pers,LBH Masyarakat, LBH Mawar Saron, LBH Pers, PBHI, HuMA, MaPPI, PSHK, LeIP, Arus Pelangi, HuMA dll. KuHAP sendiri sudah melakukan aktivitas pengkajian terhadap RUU KUHAP sejak tahun 2008, terutama terhadap substansi-substansi yang erat kaitannya dengan pemenuhan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial).
ILRC mengambil peran untuk tema bantuan hokum dalam RUU KUHAP sebagai bagian dari Program Reformasi Bantuan Hukum. Diskusi kali ini ditujukan untuk 1) Mensosialisasikan draft RUU KUHAP kepada para pemangku kepentingan; 2) Mengkritisi perumusan hak-hak tersangka/terdakwa, khususnya hak atas bantuan hokum dalam draft RUU KUHAP dan Menghimpun pendapat dan usulan-usulan terkait perumusan hak bantuan hokum dalam RUU KUHAP
Hadir sebagai pembicara yaitu Frans Hendra Winata (Advokat/ Komisi Hukum Negara), Andi Fanano Simagungsong (LBH Mawar Saron) dan Ibu Warjiah (UPC). Diskusi dipandu oleh Asep Yunan Firdaus (Perkumpulan HuMA)
Dalam diskusi terungkap bahwa hak atas bantuan hukum perumusannya tidak berbeda jauh dengan KUHAP yang berlaku saat ini. Namun peserta diskusi menilai perumusan hak bantuan hukum dalam RUU KUHAP mengalami kemunduran,diantaranya terdapat penambahan ketentuan yang menyatakan Tersangka/Terdakwa akan kehilangan haknya, dengan menandatanggani berita acara menolak didampingi penasihat hokum. Ketentuan ini justru mengakomodasi pola pelanggaran yang telah terjadi selama ini.. Dari berbagai pengalaman penanganan kasus, seorang Tersangka/Terdakwa menandatanggani berita acara tersebut dengan berbagai alasan, yaitu : 1) Dipaksa dan/atau disiksa untuk menandatangani; 2) Dijanjikan kasusnya akan cepat selesai atau akan dilepaskan, dan 3) Dimanipulasi bahwa penggunaan advokat/penasihat hokum akan mengeluarkan biaya yang besar. Dengan demikian pemenuhan hak bantuan hokum menjadi bersifat formalitas, dan bukan upaya untuk memenuhi hak tersangka/terdakwa dalam melakukan pembelaan. Terkait dengan hal tersebut masih dibutuhkan serangkaian advokasi untuk memenuhi hak bantuan hokum sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia.