Tulisan ini berawal dari ketertarikan penulis terhadap Opini saudara Rusdi Ritonga tentang Pendidikan Hukum tidak Bernurani adalah Kegagalan Fakultas Hukum (Analisa, 31 Juli 2009)
Tanpa bermaksud mencampuri lebih jauh kurikulum Fakultas Hukum, pada dasarnya sasaran studi ilmu hukum adalah kaedah yang lazimnya diartikan sebagai peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana seyogianya manusia itu berbuat atau tidak berbuat agar kepentingannya dilindungi dari gangguan atau serangan.
Kaedah merupakan pandangan obyektif masyarakat tentang apa yang seyogianya diperbuat atau tidak diperbuat. Oleh karena itu, yang dipelajari di Fakultas Hukum pada dasarnya adalah kaedah hukum yang mencakup asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit (norm) dan peraturan hukum konkrit. Oleh karena kaedah hukum dalam arti luas itu berhubungan satu sama lain dan merupakan suatu sistem, maka sistem hukum juga merupakan sasaran studi ilmu hukum.
Di samping kaedah hukum dan sistem hukum yang menjadi sasaran studi ilmu hukum, terdapat penemuan hukum oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas sebagaimana dikenal dengan asas rechtswergering dihubungkan dengan asas ius curia novit bahwa hakim dilarang untuk menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas sehingga perlu dicari dan diketemukan hukumnya, oleh karena itu perlu dipelajari metode atau cara menemukan hukum.
Kurang Menguasai
Penguasaan terhadap sasaran studi ilmu hukum tersebut seyogianya dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum, karena prinsipnya tujuan mempelajari ilmu hukum adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat sehingga tercapai ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Kegagalan seorang lulusan Fakultas Hukum dalam menyelesaikan masalah hukum bahkan sering dianggap menimbulkan masalah hukum baru, seperti dalam “Kasus Radju”, “Kasus Prita” dan “Kasus Permainan Koin” justru karena out put Fakultas Hukum saat ini; lebih disebabkan kurangnya penguasaan terhadap sasaran studi ilmu hukum tersebut.
Kompetensi Menyelesaikan Masalah Hukum
Mempelajari hukum tidak hanya mampu mengetahui bunyi semua isi perundang-undangan. Orang sering mengartikan bahwa belajar di Fakultas Hukum adalah untuk mengetahui hukum yang berarti mampu menghafal semua bunyi pasal-pasal di dalam perundang-undangan. Kalau hanya ingin mengetahui hukum saja, misalnya UU Lalu Lintas, cukup hanya membeli undang-undangnya, lalu baca di rumah, selesai. Tidak perlu menghabiskan waktu lama bertahun-tahun dan biaya untuk belajar di Fakultas Hukum.
Sebelum tahun delapan puluhan, belajar hukum diartikan sebagai upaya memahami cara menegakkan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum. Tidak heran, jika Noll seorang pakar hukum berpendapat bahwa ilmu hukum itu merupakan ilmu peradilan (rechtspraak wetenschap) artinya studi hukum dilihat dari kacamata hakim yang pada dasarnya mengandung sekurang-kurangnya tiga ciri, yaitu : a. berkaitan dengan peristiwa hukum (konflik), b. diterapkannya suatu norm atau kaedah (peraturan hukum); dan c. diselesaikannya suatu konflik.” Perkembangan selanjutnya dalam mempelajari hukum, adalah memperoleh kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya konflik di masa mendatang apabila terjadi suatu peristiwa hukum.
Dengan telah menguasai sasaran studi ilmu hukum tersebut, diharapkan seorang sarjana hukum menguasai the power of legal problem solving. Dengan menguasai kemampuan untuk menyelesaikan masalah tersebut, seorang sarjana hukum mampu mengidendtifikasi masalah (legal problem identification) dalam arti mampu memisahkan antara masalah hukum dengan masalah sosial lainnya seperti ekonomi, politik dan lain sebagainya, karena pada prinsipnya hanya masalah hukum yang dapat diselesaikan dengan ilmu hukum. Mustahil apabila masalah hukum diselesaikan dengan ilmu politik atau ilmu ekonomi. Kemampuan mengindentifikasi ini sangat penting, karena kesalahan mengindentifikasi dapat menimbulkan masalah baru. Sering dalam praktek, masalah hukum diselesaikan dengan politik atau ekonomi sehingga penyelesaian masalah hukum tersebut tidak tuntas.
Setelah peristiwa tersebut teridentifikasi sebagai masalah hukum, maka peristiwa konkrit akan dikualifikasi menjadi peristiwa hukum, untuk selanjutnya dicari pemecahannya (legal problem solving) melalui peraturan hukum yang tertulis. Ini ada kaitannya dengan sistem hukum kontinental atau sistem kodifikasi hukum yang dianut oleh negara kita yang mendasarkan hukum pada undang-undang tertulis. Kemudian setelah pemecahannya ditemukan, maka diberi hukumnya, atau haknya, dengan menjatuhkan putusan (decision making).
Kecenderungan
Kurikulum yang berbasis kompetensi ini tidak salah apabila dengan kompetensi tersebut kemampuan untuk menyelesaikan masalah hukum sudah dikuasai oleh calon lulusan fakultas hukum. Dalam Konsorsium Ilmu Hukum dirumuskan tujuan umum pendidikan hukum adalah menghasilkan sarjana hukum yang mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam konteks sosialnya. Hal yang mendasar itu adalah sasaran studi ilmu hukum tersebut harus betul-betul dicakup dalam membentuk kurikulum dan dalam satuan mata kuliah. Sering terjadi dalam menyusun kurikulum, hanya diberikan sesuatu yang dianggap trend saat ini, tanpa memperhatikan hal-hal yang mendasar yang harus diperoleh mahasiswa. Sebagai suatu sistem, ilmu hukum dapat diidentikkan dengan pohon, yang mempunyai akar, batang, ranting, daun, bunga dan buah. Ilmu hukum harus dipelajari secara utuh dan menyeluruh, mahasiswa harus diberi pengetahuan yang substansial jangan hanya mempelajari apa yang menarik dari pohon tersebut.
Di samping kurikulum yang berbasis kompetensi, kecenderungan lulusan fakultas hukum dalam mempraktekkan ilmu hukum yang diperolehnya, turut dipengaruhi oleh sistem yang berlaku dalam masyarakat. Jadi terdapat dua faktor yang mempengaruhi output dari fakultas hukum, yaitu ilmu hukum yang diperolehnya dan sistem yang berlaku dalam masyarakat. Friedmann dalam bukunya (1984) mengatakan bahwa ada tiga komponen penting dari bekerjanya sebuah sistem hukum, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan kultur atau budaya dalam masyarakat.
Menurut Friedmann, untuk menggambarkan kinerja komponen dari sistem tersebut, struktur digambarkan dengan sebuah mesin, substansi hukumnya digambarkan dengan apa yang dihasilkan oleh mesin tersebut, sedang-kan budaya digambarkan dengan apa dan siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan serta menetapkan bagaimana mesin itu digunakan.
Harus disadari, dalam rangka penegakan hukum (law enforcement) untuk mewujudkan negara hukum di Indonesia, tidak hanya diperankan oleh seorang lulusan fakultas hukum. Oleh karena itu, kecenderungan penerapan hukum, harus dilihat secara menyeluruh sebagai suatu sistem dalam masyarakat kita. Budaya hukum kita jelas adalah Pancasila, sesuai dengan bentuk Negara Hukum Republik Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea empat Pembukaan UUD 1945, bahwa negara adalah berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaan mendasar untuk menjawab kegagalan fakultas hukum, di samping kurikulum pendidikan hukum adalah, sudahkah budaya hukum masyarakat Indonesia saat ini sudah berjalan sesuai dengan budaya Pancasila ?
Lulusan fakultas hukum memang sangat diharapkan menjadi pioneer dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, seorang sarjana hukum harus benar-benar menguasai sasaran dari studi ilmu hukum tersebut sebagai bekal dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam masyarakat. Di samping itu harus tetap teguh pada prinsip hukum (idée des rechts) bahwa hukum itu dibuat bukan untuk dilanggar melainkan untuk memberi kepastian hukum, menciptakan keadilan dan untuk memberi kebahagian sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unika St Thomas Medan.